Tren Sekolah Berasrama: Modern dan Inklusif (Strategi Menyelamatkan Anak Menuju Indonesia Emas 2045)

​Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd (Guru besar UIN STS Jambi)

Avatar photo

- Jurnalis

Senin, 15 Desember 2025 - 15:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

A. Pendahuluan
​Impian besar Indonesia Emas 2045 tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi atau kemajuan infrastruktur semata, tetapi juga dari kualitas sumber daya manusianya. Generasi yang akan memimpin pada tahun tersebut haruslah generasi yang bukan hanya cerdas secara akal, tetapi juga kokoh secara moral dan spiritual. Johnson (2020) berpendapat bahwa untuk mencapai kompetensi global, kita harus memodernisasi tradisi pendidikan dengan fokus pada karakter. Tantangan utama saat ini adalah globalisasi dan derasnya arus digital, yang secara fundamental memengaruhi cara generasi muda (generasi Z dan Alpha) menyerap nilai dan membentuk identitas. Quinn (2024) menekankan bahwa future-proofing generasi memerlukan pendidikan untuk ketahanan moral dan spiritual. Pentingnya karakter (resilience, akhlak, dan iman) sebagai fondasi kecerdasan adalah prasyarat mutlak untuk mencapai visi keemasan tersebut. Esai ini bertujuan menganalisis ancaman digital terhadap karakter anak dan menawarkan model Pendidikan Berasrama modern sebagai intervensi yang efektif dan inklusif.

B. Otak dan Hati Anak Sedang Dicuri: Problem Mendasar di Era Digital

​Coba perhatikan anak remaja di sekitar kita, mereka adalah generasi yang lahir dengan gawai di tangan. Mereka cerdas dan cepat beradaptasi, tapi di balik itu, ada ancaman serius yang seringkali tak terlihat, yaitu bagaimana teknologi digital secara diam-diam sedang menggerus akhlak dan moral mereka. Ini terjadi pada usia anak, hingga usia krusial, yaitu siswa sekolah menengah yang sedang menapaki masa remaja awal menuju kedewasaan.

​Mengapa era ini begitu rawan? Pertama, ini adalah fase di mana otak remaja, terutama korteks prefrontal yang bertanggung jawab atas keputusan dan moral, masih dalam tahap pengembangan. Sayangnya, perhatian mereka kini mudah sekali teralihkan oleh stimulus instan digital yang menawarkan lonjakan dopamin cepat. Alhasil, kesadaran hati dan kemampuan fokus mereka perlahan “dicuri” oleh scroll tanpa akhir. Nguyen (2023) bahkan menyarankan strategi digital minimalism untuk remaja guna “Reclaiming Attention” dari gangguan media digital.

​Penting untuk dipahami: Otak adalah rumah kecerdasan (akal), tempat logika dan analisis terjadi. Sementara hati (nurani) adalah rumah kesadaran, tempat nilai, empati, dan iman bersemayam. Saat perhatian terus-menerus terfragmentasi, kedua pilar ini melemah. Davis (2024) secara spesifik menyoroti bagaimana teknologi modern telah menciptakan “Age of Distraction” yang secara signifikan menghambat kemampuan manusia untuk mempertahankan fokus yang mendalam (deep work). Garcia (2023) juga memberikan perspektif neurosains tentang dampak media digital pada perkembangan kognitif remaja. Mereka mungkin unggul secara kognitif, tetapi nilai-nilai fundamental seperti etika berinteraksi, kesabaran, dan tanggung jawab sosial seringkali rapuh. Ini adalah problem mendasar yang harus kita hadapi.

Baca Juga :  Hesti Haris Ajak PKK Jambi Tingkatkan Literasi Digital dan Pola Asuh Modern

C. Rapuhnya Pendidikan Keluarga di Era Global dan Digital

​Ironisnya, benteng pertahanan utama anak, yaitu keluarga justru sedang menghadapi tantangan terberat di era ini. Kesibukan orang tua (dual-career households), seringkali dengan tuntutan karir yang tinggi, membuat waktu berkualitas di rumah semakin minim. Minimnya waktu berkualitas ini berbanding lurus dengan pengawasan yang longgar terhadap paparan anak terhadap dunia digital.

​Bukan hanya masalah waktu, tetapi juga literasi digital. Irving (2024) dalam analisisnya tentang “The Decline of Family Influence” menyebutkan bahwa orang tua modern kesulitan mengimbangi kecepatan perkembangan platform digital yang dihadapi anak, membuat pengawasan moral menjadi longgar. Chandra & Singh (2025) bahkan membahas kompleksitas Parenting in the Metaverse, menunjukkan betapa cepatnya tantangan itu berubah. Konflik antara nilai-nilai tradisional yang diajarkan di rumah dan nilai-nilai yang dikonsumsi anak dari lingkungan digital global sering menimbulkan polarisasi yang sulit dikendalikan.

​Dalam konteks regulasi, meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak menekankan peran sentral keluarga, faktanya, tantangan implementasi di lapangan menunjukkan perlunya institusi pendukung yang lebih terstruktur.

D. Family Parenting: Alternatif Pendidikan Utama Anak dalam Keluarga

​Model ideal dari pendidikan karakter anak tentu berpusat pada Family Parenting yang kuat. Di negara-negara maju, Education Review (Kim, 2023) sering membandingkan hasil karakter siswa dan menunjukkan bahwa pendidikan karakter yang sukses membutuhkan intervensi yang konsisten. Model yang sukses sering didasarkan pada penekanan pendidikan emosi, etika, dan tanggung jawab sosial sejak dini. Konsep Intentional Parenting adalah kunci, di mana pendidikan berbasis kesadaran, nilai, dan komunikasi asertif menjadi prioritas. Patel & G. (2021) juga menegaskan bahwa aliansi baru antara keluarga, sekolah, dan masyarakat sangat penting untuk membentuk karakter yang stabil dan komprehensif.

​Namun, sebagaimana realitas menunjukkan, bahwa idealisme family parenting seringkali sulit diwujudkan secara konsisten. Keterbatasan ini memunculkan kebutuhan akan lingkungan terstruktur yang mampu mengisi celah pengawasan dan pendidikan karakter yang tidak dapat dipenuhi keluarga secara penuh di tengah tekanan global.

E. Pendidikan Berasrama Solusi Efektif dan Inklusif Meneguhkan dan Menyemai Akhlak dan Iman Anak

​Di sinilah peran Pendidikan Berasrama atau Boarding School modern menjadi solusi yang efektif dan inklusif. Sekolah berasrama modern telah bertransformasi; ia tidak lagi eksklusif, melainkan menjadi inklusif, apalagi yg didukung program beasiswa (Fletcher, 2022), dan fokus pada kurikulum yang seimbang. Mukherjee (2025) menyoroti relevansi kebijakan pendidikan Asia Tenggara dalam mengintegrasikan karakter, akhlak, dan teknologi secara efektif.

Baca Juga :  PNS Kemenag Kian Sejahtera, Gaji dan Tunjangan Bisa Tembus Puluhan Juta

​Apa yang ditawarkan oleh model ini?

1. ​Lingkungan Terstruktur dan Terawasi: Menyediakan pengawasan 24/7 dan lingkungan yang dikontrol dari gangguan digital berlebihan (digital detox terkontrol). Hal ini memungkinkan fokus pada interaksi sosial nyata dan penguatan keterampilan lunak. Penelitian oleh Abrams (2025) bahkan membuktikan bahwa akses digital yang terkontrol di lingkungan residensial terstruktur memiliki efek positif terhadap perilaku prososial remaja.

2. Pendidikan Karakter Holistik: Integrasi nilai-nilai moral, keagamaan (Iman dan Akhlak), dan etika dilakukan dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari (kurikulum, kokurikuler, dan lingkungan asrama). Brown (2023) menjelaskan bagaimana lingkungan asrama yang modern sangat efektif untuk “Building Character” karena seluruh rutinitas dikelola untuk tujuan tersebut. Lee (2022) juga menguatkan hal ini, meninjau peran sekolah berasrama dalam membentuk pemimpin masa depan yang beretika (Virtue and Vision).

3. Pembentukan Soft Skills dan Resilience: Kehidupan komunal di asrama menuntut anak untuk belajar berempati, menyelesaikan konflik, manajemen waktu, dan bertanggung jawab terhadap komunitas. Hayes (2021) menyebutnya sebagai pendidikan karakter di luar kelas, yang sangat penting di abad ke-21. Evans (2020) menambahkan bahwa struktur ini membantu membangun kepemimpinan etis dan ketahanan (resilience) yang diperlukan untuk masa depan.

​4. Pendidikan Berasrama hadir sebagai laboratorium karakter yang mampu menutup celah kerentanan karakter anak di era digital, melengkapi peran keluarga, dan memastikan bahwa kecerdasan akal anak berjalan beriringan dengan kesadaran hati dan kekokohan akhlak mereka.

F. Penutup

​Untuk mencapai Visi Indonesia Emas 2045, dibutuhkan strategi pendidikan yang tidak takut menghadapi tantangan digital secara langsung. Pendidikan Berasrama modern dan inklusif menawarkan lingkungan yang mampu membentengi dan membentuk karakter anak secara utuh. Solusi ini efektif karena memberikan struktur, konsistensi, dan pengawasan yang sulit diduplikasi di rumah pada era ini. Oleh karena itu, investasi pada peningkatan kualitas dan perluasan akses Sekolah Berasrama yang inklusif, dengan fokus utama pada pembentukan akhlak, bukan sekadar akademik, adalah langkah strategis dan krusial bagi masa depan bangsa.

Penulis : Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd

Editor : Dedi Dora

Berita Terkait

KemenPANRB Temui Menkeu, Usulan Kenaikan Gaji ASN Mulai Dibahas
Aturan Baru Penghasilan ASN 2026: Gaji PNS, PPPK Full Time, dan Paruh Waktu Dibedakan
Kisah Susy Susanti, Legenda Olimpiade yang Tak Pernah Menaklukkan Asian Games
Bank Emas Resmi Berjalan, Cara Baru Menabung dan Meminjam Emas
Isu John Herdman Latih Timnas Indonesia Menguat, PSSI Disebut Siapkan Kontrak Bernilai Tinggi
D’Academy 7 Indosiar Tuntas, Para Pemenang Bawa Pulang Hadiah Fantastis
Cara Mengajarkan Anak Mengelola Uang Sesuai Tahap Usia
Kerinci Jadi Favorit Liburan Tahun Baru, Ini Destinasi Alamnya
Berita ini 3 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 29 Desember 2025 - 21:01 WIB

KemenPANRB Temui Menkeu, Usulan Kenaikan Gaji ASN Mulai Dibahas

Senin, 29 Desember 2025 - 06:00 WIB

Aturan Baru Penghasilan ASN 2026: Gaji PNS, PPPK Full Time, dan Paruh Waktu Dibedakan

Senin, 29 Desember 2025 - 04:00 WIB

Kisah Susy Susanti, Legenda Olimpiade yang Tak Pernah Menaklukkan Asian Games

Minggu, 28 Desember 2025 - 22:03 WIB

Bank Emas Resmi Berjalan, Cara Baru Menabung dan Meminjam Emas

Minggu, 28 Desember 2025 - 20:01 WIB

Isu John Herdman Latih Timnas Indonesia Menguat, PSSI Disebut Siapkan Kontrak Bernilai Tinggi

Berita Terbaru