Ketika New York Memilih Zohran Mamdani: Apakah Indonesia Siap Dipimpin Tokoh dari Kelompok Minoritas?

Avatar photo

- Jurnalis

Senin, 15 Desember 2025 - 10:17 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oplus_131072

Oplus_131072

Oleh: Fatima Nayla Agusta

Tulisan ini menyoroti kemenangan Zohran Mamdani sebagai politisi Muslim keturunan Afrika Timur di New York dan bagaimana identitas lintas budayanya membentuk pendekatan politik yang progresif dan inklusif. Dengan membandingkan konteks New York dan Indonesia, artikel ini menunjukkan bahwa representasi minoritas tidak hanya soal kehadiran figur tertentu, tetapi juga kemampuan menjembatani perbedaan budaya, agama, dan ideologi dalam ruang politik yang lebih luas.

Kata kunci: multikulturalisme; politik identitas; demokrasi inklusif; Zohran Mamdani; New York City; minoritas; politik Indonesia.

Kemenangan Zohran Mamdani dalam pemilihan Wali Kota New York pada November 2025 memunculkan percakapan global tentang batas-batas multikulturalisme. Seorang Muslim muda berusia 34 tahun, lahir dari keluarga imigran Uganda–India, dan berhaluan sosialis progresif, berhasil meraih lebih dari 50 persen suara dan mengalahkan tokoh senior seperti Andrew Cuomo. Kemenangan ini bukan hanya momentum politik, tetapi juga cermin perubahan sosial di salah satu kota paling kosmopolit di dunia.

Sorotan terhadap Mamdani bukan semata karena latar belakangnya sebagai Muslim dan anggota Democratic Socialists of America, melainkan karena caranya merangkul kelompok-kelompok minoritas di New York, mulai dari imigran kelas pekerja hingga komunitas LGBTQIA+, tanpa kehilangan identitasnya. Di saat sebagian masyarakat dunia masih menganggap identitas tertentu tidak kompatibel dengan nilai-nilai inklusif, sosok Mamdani justru hadir sebagai bukti sebaliknya.

Dari sinilah perbandingan dengan Indonesia sering muncul: apakah masyarakat Indonesia, dengan sejarah pluralismenya yang panjang namun penuh tantangan, dapat menerima model kepemimpinan inklusif seperti yang ditampilkan Mamdani?

Liputan PinkNews, Al Jazeera, dan Media Indonesia mencatat kemenangan Mamdani sebagai salah satu fenomena politik paling menarik di Amerika Serikat tahun 2025. Selain menjadi wali kota Muslim pertama dalam sejarah New York, ia juga merupakan tokoh Asia Selatan pertama dan wali kota termuda sejak 1892.

Kampanyenya dinilai kuat secara substansi, mulai dari transportasi umum gratis, pembekuan sewa perumahan rakyat, penambahan fasilitas penitipan anak, hingga rencana pembangunan supermarket milik kota. Media Indonesia menyebut program-program ini sebagai “napas panjang kelas pekerja di tengah biaya hidup yang mencekik”.

Di balik janji-janji tersebut, terdapat pendekatan khas Mamdani yang menempatkan multikulturalisme bukan sekadar jargon, melainkan sebagai kerangka kerja nyata. Ia hadir dalam berbagai kegiatan komunitas imigran, kelompok etnis kecil, dan organisasi akar rumput. Ia berbicara tentang keadilan sebagai hak semua warga, tanpa memandang latar belakang budaya, agama, atau orientasi.

New York, kota yang dihuni lebih dari 800 bahasa, seolah menemukan representasinya dalam sosok politikus muda yang berani mengambil sikap, termasuk dalam isu-isu yang kerap memecah belah publik Amerika.

Baca Juga :  Profil Zohran Mamdani : Muslim Pertama Jadi Wali Kota New York

Salah satu aspek yang membuat Mamdani menonjol adalah konsistensinya dalam memperluas ruang aman bagi kelompok minoritas. Media internasional menyoroti komitmennya menjadikan New York sebagai sanctuary city bagi komunitas rentan yang kerap mengalami diskriminasi struktural.

PinkNews mencatat bahwa Mamdani berjanji memperluas layanan kesehatan, memperkuat perlindungan hukum, serta membentuk kantor khusus untuk menangani kelompok minoritas yang sering terabaikan. Dalam berbagai pidato publiknya, ia menekankan bahwa martabat manusia merupakan nilai dasar yang tidak dapat dinegosiasikan.

Liputan-liputan tersebut menggambarkan Mamdani bukan sekadar tokoh politik yang memanfaatkan isu minoritas sebagai simbol, melainkan figur yang membangun jembatan antara keyakinan pribadinya sebagai Muslim dan praktik politik yang menjunjung tinggi kesetaraan.

Meski mendapat dukungan luas, perjalanan politik Mamdani tidak sepenuhnya mulus. Media konservatif seperti New York Post menggulirkan narasi bernuansa ketakutan, bahkan memelintir fakta. LGBTQ Nation menyebut salah satu opininya sebagai “artikel paling absurd dalam isu minoritas tahun ini”.

Al Jazeera juga melaporkan adanya upaya sejumlah politisi sayap kanan yang ingin mencabut kewarganegaraannya dengan tuduhan afiliasi komunis, klaim yang kemudian dibantah oleh PolitiFact karena tidak berdasar.

Rangkaian serangan ini menunjukkan bahwa politik identitas masih menjadi senjata utama kelompok konservatif. Namun, respons publik New York justru bergerak ke arah sebaliknya. Hasil exit poll menunjukkan dukungan kuat dari berbagai blok pemilih, termasuk komunitas queer, imigran Asia Selatan, Afrika Timur, serta kelas pekerja muda.

Di Indonesia, pemberitaan mengenai Mamdani juga cukup luas. Media Indonesia, SINDOnews, dan berbagai portal lainnya menyoroti sisi progresifnya sebagai wajah baru kepemimpinan urban. Namun, pertanyaan besar segera muncul: bisakah Indonesia menerima pemimpin dari kelompok minoritas sebagaimana New York menerima Mamdani?

Data menunjukkan tantangan tersebut masih besar. Survei LSI tahun 2012 mencatat 90,6 persen responden menolak pemimpin homoseksual dan 88,4 persen menolak pemimpin ateis. Sementara itu, riset INFID tahun 2021 menunjukkan hanya 19 persen generasi muda bersedia memilih presiden dari agama minoritas.

Pengamat HAM menilai temuan ini sebagai alarm bahwa pendidikan toleransi belum berjalan optimal. Abdul Waidl dari INFID menegaskan pentingnya penanaman nilai kebhinekaan melalui pendidikan, media, dan keteladanan elite.

Pengalaman politik Indonesia pun menunjukkan tantangan nyata. Kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi contoh bagaimana politik identitas mampu menutup peluang seorang pemimpin minoritas, meski memiliki rekam jejak tata kelola pemerintahan yang baik.

Para pengamat HAM menilai tantangan utama bukan semata soal agama atau budaya, melainkan bagaimana elite politik mengelola sentimen tersebut demi keuntungan elektoral. Ketika isu keberagaman dijadikan alat perpecahan, ruang bagi pemimpin seperti Mamdani menjadi semakin sempit.

Baca Juga :  SBY Ingatkan Politikus: Kekuasaan Tak Boleh Diraih dengan Melanggar Konstitusi

Ada beberapa alasan mengapa model kepemimpinan Mamdani sulit diterapkan di Indonesia saat ini. Politik identitas masih menjadi modal politik yang efektif, konservatisme sosial terkait gender dan seksualitas masih kuat, serta dukungan terbuka terhadap komunitas LGBTQIA+ kerap dipandang sebagai risiko elektoral. Selain itu, sistem pemilu yang menuntut konsensus mayoritas sering kali memosisikan kelompok minoritas sebagai isu sensitif yang dihindari.

Indonesia sejatinya memiliki nilai dasar yang mendukung keberagaman, namun praktik politik belum sepenuhnya mencerminkan hal tersebut. Diperlukan waktu, konsistensi, dan pendidikan publik untuk menormalisasi keberagaman kepemimpinan sebagaimana yang terjadi di New York.

Kemenangan Zohran Mamdani mengingatkan bahwa demokrasi baru benar-benar bekerja ketika semua orang, termasuk kelompok minoritas, merasa dilihat, dilindungi, dan diberi ruang. Bagi Indonesia, kisah ini bukan ajakan meniru mentah-mentah kebijakan New York, melainkan kesempatan untuk bercermin: sejauh mana kita benar-benar menerima perbedaan?

Selama politik identitas masih menjadi alat kampanye efektif dan intoleransi terhadap minoritas belum ditangani secara sistematis, peluang munculnya pemimpin dengan identitas serupa Mamdani akan tetap kecil. Namun, nilai Pancasila, jejak pluralisme Gus Dur, serta keterbukaan generasi muda memberi harapan bahwa ruang demokrasi Indonesia dapat terus berkembang.

Pada akhirnya, pertanyaan tersebut kembali kepada publik: apakah Indonesia siap membuka pintu bagi pemimpin dari kelompok minoritas, atau masih nyaman menjadi penonton bagi keberanian kota lain?

New York mungkin telah memberi contoh. Namun, keberanian untuk mengembangkan versi Indonesia dari kepemimpinan inklusif itu sepenuhnya bergantung pada kemauan kita sendiri untuk merawat keberagaman sebagai kekuatan, bukan sebagai ketakutan.

BIODATA PENULIS

Nama Lengkap                : Fatima Nayla Agusta

Tempat & tanggal lahir   : Sungai Penuh, 5 Mei 2006

Jenis kelamin                   : Perempuan

Status                               : Pelajar / Mahasiswa

Kontak                             : 085210429251

Alamat                              :  Jln. Dr. Moh. Hatta, Limau Manis, Kec. Pauh, Kota     Padang, Sumatera Barat 25176

Email aktif                       : agustabilla@gmail.com

Pendidikan                       : Mahasiswa Studi Hubungan Internasional, Universitas    Andalas

 

 

 

Berita Terkait

Resmi! Ini UMP 2026 Seluruh Indonesia, Jakarta Tertinggi
Risiko Gagal Bayar Tinggi, OJK Siapkan Aturan Baru Pinjol 2026
Toyota Rush 2026 Naik Kelas: SUV Keluarga Kini Lebih Cerdas dan Ramah Lingkungan
Wahyudi El Panggabean: Etika Lemah, Pers Kehilangan Wibawa
Inara Rusli Akhiri Proses Hukum dengan Insanul Fahmi, Laporan Polisi Dicabut
BRI Buka Kredit Non KUR hingga Rp500 Juta untuk PNS dan PPPK di 2026
KemenPANRB Temui Menkeu, Usulan Kenaikan Gaji ASN Mulai Dibahas
Aturan Baru Penghasilan ASN 2026: Gaji PNS, PPPK Full Time, dan Paruh Waktu Dibedakan
Berita ini 32 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 30 Desember 2025 - 09:00 WIB

Resmi! Ini UMP 2026 Seluruh Indonesia, Jakarta Tertinggi

Selasa, 30 Desember 2025 - 07:00 WIB

Risiko Gagal Bayar Tinggi, OJK Siapkan Aturan Baru Pinjol 2026

Selasa, 30 Desember 2025 - 05:00 WIB

Toyota Rush 2026 Naik Kelas: SUV Keluarga Kini Lebih Cerdas dan Ramah Lingkungan

Selasa, 30 Desember 2025 - 03:00 WIB

Wahyudi El Panggabean: Etika Lemah, Pers Kehilangan Wibawa

Selasa, 30 Desember 2025 - 01:00 WIB

Inara Rusli Akhiri Proses Hukum dengan Insanul Fahmi, Laporan Polisi Dicabut

Berita Terbaru

Ekonomi

Resmi! Ini UMP 2026 Seluruh Indonesia, Jakarta Tertinggi

Selasa, 30 Des 2025 - 09:00 WIB

CREATOR: gd-jpeg v1.0 (using IJG JPEG v80), quality = 90?

Nasional

Wahyudi El Panggabean: Etika Lemah, Pers Kehilangan Wibawa

Selasa, 30 Des 2025 - 03:00 WIB