SUNGAIPENUH – Suku Kerinci, atau dikenal sebagai Uhang Kinci, merupakan salah satu etnis tertua di Nusantara yang mendiami wilayah Dataran Tinggi Kerinci, termasuk Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci.
Identitas budaya masyarakat Kerinci terbentuk dari sejarah panjang ribuan tahun, menjadikan daerah ini salah satu pusat peradaban penting di Sumatra.
Berbagai penelitian arkeologi menunjukkan bahwa wilayah Kerinci telah dihuni manusia modern sejak sekitar 15.000 tahun lalu, berdasarkan temuan serpihan obsidian dan tulang hewan di Gua Ulu Tiangko, Merangin. Temuan tersebut menjadi bukti kuat bahwa kawasan ini memiliki peradaban awal yang berkembang secara mandiri.
Migrasi penutur Austronesia sekitar 3.500 tahun lalu membawa perubahan besar. Jejaknya terlihat dari temuan beliung persegi, tembikar merah, dan pola permukiman di Bukit Arat serta Koto Pekih. Bukti paleo-ekologi di kawasan Danau Bento juga menunjukkan aktivitas pertanian padi dan penggembalaan kerbau sejak masa tersebut.
Memasuki abad ke-5 hingga 9 Masehi, perkembangan budaya Kerinci ditandai oleh peninggalan megalitik seperti Batu Silindrik, kubur tempayan, hingga jejak rumah panggung. Temuan artefak logam menunjukkan bahwa masyarakat Kerinci sudah menjalin hubungan perdagangan dengan wilayah luar Sumatra.
Dalam catatan sejarah tertulis, nama Kerinci muncul dalam Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, naskah abad ke-14 yang disebut sebagai dokumen hukum Melayu tertua di Asia Tenggara. Di dalamnya, Kerinci disebut Bhumi Kurinci, menegaskan eksistensi wilayah ini sebagai pusat adat yang maju.
Budaya Kerinci juga dikenal kaya melalui bahasa daerahnya, yang memiliki banyak dialek berbeda antar dusun. Bahasa Kerinci termasuk rumpun Austronesia dan berkerabat dekat dengan bahasa Minangkabau serta Melayu, dengan pengaruh Austroasiatik yang masih tersisa. Fleksibilitas bahasa membuat masyarakat Kerinci fasih berdialog dengan berbagai etnis di sekitarnya.
Sebagai bagian penting dari sejarah Jambi dan Sumatra Barat, perjalanan panjang Suku Kerinci terus menjadi kebanggaan masyarakat lokal. Hingga kini, jejak sejarah dan budaya itu tetap hidup dalam tradisi, bahasa, arsitektur, dan cara hidup masyarakat di dataran tinggi yang subur ini. (***)









