ROKANHULU – Menurunnya kepercayaan publik terhadap media massa dinilai tidak terlepas dari lemahnya pemahaman wartawan terhadap Kode Etik Jurnalistik Indonesia (KEJI). Penilaian itu disampaikan Direktur Utama Pekanbaru Journalist Center (PJC), Drs. Wahyudi El Panggabean, M.H., MT.BNSP., C.PCT, dalam pelatihan jurnalistik di Kabupaten Rokan Hulu.
Wahyudi menilai, banyak persoalan pers yang berujung konflik hukum maupun polemik sosial sebenarnya dapat dicegah apabila wartawan memahami dan mematuhi kode etik sejak awal proses peliputan.
“Masalah pers hari ini bukan semata tekanan eksternal, tapi kegagalan internal dalam menjaga etika,” kata Wahyudi, Senin (8/12).
Etika Menentukan Kualitas Berita
Menurut Wahyudi, KEJI merupakan standar minimum yang menentukan apakah sebuah karya jurnalistik layak disebut profesional atau tidak. Tanpa etika, berita berpotensi bias, tendensius, bahkan merugikan pihak lain.
Ia menegaskan bahwa wartawan bukan hanya dituntut cepat menyajikan informasi, tetapi juga akurat, berimbang, dan bertanggung jawab.
“Kecepatan tanpa etika hanya akan menghasilkan masalah baru,” ujarnya.
Wartawan Tidak Cukup Hanya Bisa Menulis
Dalam forum yang dihadiri pimpinan redaksi dan wartawan tersebut, Wahyudi menekankan bahwa kemampuan teknis menulis tidak cukup menjadikan seseorang sebagai wartawan profesional.
Pemahaman kode etik, kata dia, justru menjadi pembeda utama antara jurnalis dan pembuat konten biasa.
“Jurnalis bekerja dengan tanggung jawab sosial, bukan sekadar mengejar klik,” tegasnya.
Dedikasi Menjadi Syarat Mutlak
Wahyudi juga mengingatkan bahwa profesi wartawan menuntut dedikasi jangka panjang. Tanpa kesungguhan, pelanggaran etika akan terus berulang dan mencoreng profesi itu sendiri.
Ia mendorong wartawan untuk membiasakan diri membaca, memahami, dan menerapkan KEJI secara konsisten dalam praktik sehari-hari.
“Kalau wartawan mau berubah, mulai dari dirinya sendiri. Jangan tunggu ditegur atau diproses hukum,” pungkasnya.









