KERINCI – Tahun anggaran 2026 diperkirakan menjadi salah satu periode paling menekan bagi masyarakat Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci. Penurunan drastis dana transfer pusat dan melonjaknya beban belanja pegawai membuat ruang fiskal daerah nyaris lumpuh.
Banyak program publik terancam menyusut, sementara kualitas layanan dasar ikut bergantung pada kemampuan kepala daerah mencari dukungan pusat.
Penurunan paling terasa berasal dari merosotnya porsi belanja modal. Kota Sungai Penuh misalnya, hanya memiliki sekitar Rp 44 miliar untuk seluruh pembangunan fisik tahun depan—angka yang anjlok dari Rp 135 miliar pada 2025. Kondisi serupa dialami Kerinci.
Bagi warga, angka-angka itu bukan sekadar statistik. Penurunan belanja modal berarti jalan yang rusak lebih lama dibiarkan berlubang, saluran air tak kunjung dibangun, gedung sekolah tertunda diperbaiki, sampai pelayanan kesehatan sulit ditingkatkan. Infrastruktur yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi masyarakat terancam mandek.
Dalam jangka pendek, tekanan paling cepat dirasakan kelompok ASN. Pemerintah daerah sedang mengkaji pemotongan TPP karena proporsi belanja pegawai membengkak menyusul kewajiban pembayaran gaji PPPK penuh waktu dan paruh waktu. Bila pemotongan ini terjadi, daya beli ribuan ASN akan turun, dan efeknya merembet ke sektor UMKM yang mengandalkan konsumsi lokal.
Ancaman stagnasi pembangunan juga berpotensi memperlebar kesenjangan antarwilayah. Desa-desa terpencil yang mengandalkan anggaran daerah untuk perbaikan jalan dan fasilitas umum menjadi pihak paling rentan ditinggalkan. Di beberapa kecamatan, penurunan alokasi juga bisa menunda program air bersih atau memperlambat penanganan bencana.
“Situasinya berat sekali. Keuangan pemerintah daerah jauh merosot dan ruang untuk bergerak hampir tidak ada,” ujar Antoni, warga Sungai Penuh. Menurutnya, kemampuan kepala daerah mengeksekusi janji politik pun nyaris mustahil tanpa sokongan pusat.
Karena itu, seluruh beban kini berpindah ke kepiawaian Wali Kota Sungai Penuh Alfin Bakar dan Bupati Kerinci Monadi dalam melakukan political bargaining ke pemerintah pusat. Lobi anggaran menjadi satu-satunya jalan agar pembangunan daerah tidak berhenti total.
“Kalau kepala daerah tidak agresif memperjuangkan dana dari pusat, daerah pasti tertinggal. Kondisi sekarang memaksa mereka untuk sangat aktif mencari tambahan anggaran,” lanjut Antoni.
Tahun 2026 tampaknya bukan sekadar tahun berat bagi pemerintah daerah, tetapi juga bagi masyarakat yang harus bersiap menghadapi layanan publik yang makin terbatas dan pembangunan fisik yang berjalan lambat.(fyo)
Penulis : Fanda Yosephta
Editor : Dedi Dora









