KERINCI – Di bawah langit sore yang mulai meredup, Festival Balik Dahin resmi ditutup Bupati Kerinci, Monadi, Sabtu (6/12/2025). Namun alunan suara gondang dan riuh tepuk tangan warga masih menggantung di udara, seakan menolak beranjak.
Festival ini meninggalkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perayaan: ia menggugah ingatan kolektif masyarakat akan siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan apa yang harus mereka jaga.
Balik Dahin—kembali ke asal—bukan hanya tema, melainkan pesan lembut yang mengetuk dada setiap orang yang hadir. Di sini, Kerinci seakan mengajak warganya pulang ke akar kehidupan leluhur, ketika alam adalah sahabat terdekat, dan adat adalah kompas yang menuntun langkah.
Di masa itu, padi ditanam dengan doa, palawija dirawat dengan syukur, dan tumbuhan hutan menjadi bagian dari ritus sakral yang menjaga keseimbangan hidup.
Kehidupan sosial masyarakat Kerinci dibangun di atas tiang matrilineal, tempat perempuan menjadi penjaga garis keturunan. Para Depati dan Ninik Mamak bertindak sebagai penopang adat, memastikan bahwa segala keputusan tumbuh dari musyawarah dan kebijaksanaan. Dalam gotong royong, mereka menemukan kekuatan; dalam kebersamaan, mereka menjaga harmoni.
Di rumah adat larik—deretan rumah petak yang menjadi benteng keluarga besar—ikatan itu disatukan. Di sana cerita lama diwariskan, luka disembuhkan, dan anak-anak dikenalkan pada pepatah-pepatah yang mengajarkan ketenangan. “Bertanya lepas lelah, serunding sesudah makan,” begitu pesan para tetua tentang menyelesaikan masalah tanpa amarah.
Festival ini juga menghadirkan kembali denyut kebudayaan Kerinci. Tari Asyeik menari di antara ingatan animisme, sementara Nyerau menggemakan suara leluhur.
Seiring waktu, ritual itu berdampingan dengan Kenduri Sko yang menandai jejak Islam yang merasuk tanpa menghapus akar lama. Sastra lisan seperti Parno, Tale, Barendih, hingga Mantau hidup lagi malam itu—seperti nyala kecil yang menjaga gelap.
Di antara kerumunan, Basilek ditampilkan dengan gagah, memperlihatkan bela diri tradisional yang dulu menjadi benteng kehormatan. Tak jauh dari itu, tari ekstrem Nitih Mahligai—yang menantang panas api dan tajam kaca—menggetarkan hati, menyiratkan hubungan manusia dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya.
Balik Dahin menutup rangkaiannya, tetapi meninggalkan pesan yang lama bergaung: bahwa identitas Kerinci bukan sekadar sejarah, melainkan jiwa yang terus hidup.
Selama alam dijaga, adat dihormati, dan kebersamaan dirawat, Kerinci tak akan kehilangan dirinya. Festival ini bukan perpisahan, melainkan ajakan halus untuk kembali—sekali lagi—ke akar yang membuat tanah ini istimewa. (***)
Penulis : Fanda Yosephta
Editor : Fanda Yosephta









